-->

Menanti Transparansi Pemerintah Aceh

Ismail Abda author photo

Oleh : Ismail Abda dan Zakaria

Transparansi keuangan telah menjadi kebutuhan warga dan telah mendapat perhatian Pemerintah Indonesia puluhan tahun silam, Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU17/2003), Indonesia secara formal telah berkomitmen untuk mengelola keuangan yang mengadopsi pilar-pilar utama tata pemerintahan yang baik (good governance), yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan kepatuhan. 

Transparansi keuangan diartikan sebagai penyampaian informasi keuangan kepada masyarakat luas (warga), dalam rangka pertanggungjawaban pemerintah, kepatuhan pemerintah terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, dan meningkatkan efektifitas pengawasan masyarakat terhadap pembangunan dan pelayanan.

Pilar-pilar ini menjadi azas dalam semua peraturan pelaksanaan UU17/2003 melalui Komitmen pemerintah untuk mendukung pelaksanaan transparansi bahkan telah direalisir melalui penetapan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU14/2008). 

Sejumlah perangkat aturan pelaksanaan di tingkat kementrian dan pemerintah daerah telah mengatur bagaimana implementasi UU14/2008 ini. 

"Agustinus Salle" Walau komitmen dan ketentuan perundangan sudah ditetapkan untuk mengatur transparansi keuangan Daerah, masih banyak masalah dalam implementasi di lapangan.

Padahal Pemerintahan yang  transparan (terbuka) dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. 

Yang dimaksudkan  transparan adalah apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya mudah diakses atau diketahui oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa memantau sekaligus mengevaluasi kinerja pemerintah dan memberikan saran.

Saat ini banyak Daerah Baik Provinsi mapupun Kabupaten sedang menuju ke pemerintahan yang transparan. Berbagai cara dilakukan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi yang dimiliki melalui internet dan alat digital lainnya.

Bahkan masyarakat dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk kepentingan publik. 

Pemerintah Pusat DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten Kuningan misalnya, semua informasi termasuk realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat di akses melaui situs web resminya yang diposting dalam bentuk PDF.

Sementara Pemerintah Provinsi Aceh hingga saat ini belum melakukan apa yang telah diamanatkan oleh Undang-undang dan peraturan Pemerintah tentang keterbukaan informasi publik tersebut. 

Situs website Pemerintah Aceh saat ini hanya menampilkan informasi seremoni tentang program dan kegiatan pejabat Pemerintah.

Seyogianya Pemerintah Aceh yang saat ini tengah maju diberbagai sektor pembangunan, baik fisik maupun non fisik harus menyiapkan berbagai informasi termasuk informasi anggaran dalam situs resmi Daerah yang menampilkan ajuan dan realisasi penggunaan anggaran seperti yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten lainnya.

Akibat tidak transparansinya dan sulitnya perolehan informasi kepada publik telah membuat sejumlah pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan gugatan ke Lembaga Komisi Informasi Pemerintah Aceh (KIA). 

Dalam situs resminya Komisi Informasi Aceh (KIA) merilis dalam kurun waktu periode tahun 2019-2020 telah mengeluarkan putusan sebanyak 35 putusan terkait keterbukaan informasi publik dengan rincian putusan mediasi sebanyak 27 perkara dan putusan Ajudikasi sebanyak 8 perkara dan 5 perkara berlanjut sampai ke Mahkamah Agung RI dimasa dua tahun tersebut. (lihat grafik) Padahal, Dunia hari ini telah berada di era digital yang dihadapkan dengan Perkembangan teknologi. 

Sehingga keterbukaan informasi tentang transparansi anggaran sesuai harapan masyarakat  sangat mudah dilakukan, dan harus dilakukan oleh Pemerintah Aceh.

Apalagi saat ini Pemerintah Indonesia melalui program Nawacita berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran, diantaranya dengan meningkatkan pembangunan di wilayah Pedesaan.

Untuk mendukung Program Nawacita itu, pemerintah melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa.Dana Desa ini dianggarkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kemudian disalurkan langsung  melalui rekening bank kepada setiap Desa sebagai sumber pendapatan dasar Desa.

Sejak dimulainya program ini, mulai tahun 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp20,7 triliun higga tahun 2017 meningkat menjadi Rp60 triliun dengan rata-rata setiap Desa memperoleh kucuran dana Rp800 juta rupiah, bahkan ada Desa yang mendapatkan lebih dari itu.

Nah, dalam perolehan dan realisasi anggaran tersebut dan anggaran lainnya yang dialokasikan melalui berbagai instansi Pemerintah Aceh tentu sangat dibutuhkan keterbukaan informasi sesuai amanat Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang didalamnya menjabarkan tentang hak masyarakat dan kewajiban Pemerintah.

Diantaranya berbunyi: Hak setiap orang untuk memperoleh Informasi, Kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana, Pengecualian bersifat ketat dan terbatas, serta, Kewajiban Badan Publik untuk mernbenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.

Namun apa yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut belum dilakukan Pemerintah Aceh, terkait hal ini dapat dikatakan Pemerintah Aceh telah dikalahkan oleh Pemerintah Desa yang setiap tahunnya selalu mempublikasi anggaran yang diterima dan realisasinya walau hanya sebatas  membuat tabel anggaran tahunan dalam bentuk Baliho yang di pajang di setiap menasah/surau atau tempat umum lainnya di Desa.

Berbagai elemen termasuk pegiat LSM menganggap Pemerintah Aceh belum transparan terhadap pengalokasian dan penggunaan anggaran APBA, APBK dan dana lainnya termasuk dana penanganan Covid 19 yang besarnya mencapai Rp2,3 triliun yang berasal dari alokasi bantuan keuangan khusus Rp300 miliar, belanja hibah Rp80 miliar, dana hibah untuk OKP dan Ormas Rp15 miliar, Bansos Rp7 miliar, dana Social Safety Net Rp1,5 triliun, Bantuan Tidak Terduga (BTT) Rp326 miliar, dan dana dari SKPA sebesar Rp131 miliar.

Dan terlepas dari dana covid tersebut, yang jelas hingga hari ini Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum memenuhi hak masyarakat untuk mendapat informasi dan menjalankan kewajibannya untuk melakukan transparansi anggaran. 

Barang kali Pemerintah Aceh lupa dengan amanat Undang-undang atau pura-pura lupa, atau memang sengaja menutupi berbagai informasi terkait anggaran. Pun demikian kita tetap menanti transparansi Pemerintah Aceh dibawah Kepemimpinan Bapak Gubernur Ir. H. Nova Iriansyah, semoga penantian kita tidak sia-sia. 

(Ismail Abda/Zakaria) 
Photo:  Grafik Sengketa Informasi Publik 

Share:
Komentar

Berita Terkini